Kedudukan
kita sebagai hamba Allah ﷻ mengaharuskan kita
untuk senantiasa bersyukur kepada Allah ﷻ,
bagaimana tidak, Allah ﷻ telah banyak sekali
memberikan kenikmatan-kenikmatan kepada kita semua, kaki yang kita gunakan
untuk berjalan, tangan yang kita gunakan untuk bergandengan, mata untuk
melihat, itu diantara kenimatan2 yang Allah ﷻ
berikan kepada kita dan masih banyak lagi kenikmatan2 lainnya, yang sejatinya
kita tidak akan sanggup untuk menghitung jumlahnya, karena Allah ﷻ telah berfirman :
“dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka
dari itu bentuk konsekuensi yang karena kita telah diberi kenikmatan yang
sangat luar biasa oleh Allah, ialah mengharuskan kita untuk senantiasa
bersyukur kepada Allah ﷻ. Dan salah bentuk
rasa syukur kita kepada Allah adalah dengan melakukan ketaatan2 kepada-Nya.
Kaum
muslimin rahimakumullahu
Dan
dalam pelaksanaan ketaatan, maka salah satu syarat yang harus kita penuhi
adalah menjalani ketaatan tersebut dengan sepenuhnya ikhlas, karena Allah ﷻ. Ikhlas adalah sebuah kata singkat yang
sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang sangat sarat
akan makna. Sebuah kata yang apabila terhilang dari dada-dada kita, maka akan
fatal akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Itulah ikhlas. Lalu, apa yang
dimaksud dengan ikhlas?
Ya,
ikhlas itu adalah ketika kita
menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, kita
melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat
manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena kita ingin
mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga
bukan karena kita tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila kita melakukan suatu
amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka
ketauhilah, itu berarti kita telah ikhlas.
Oleh
karenanya, Imam An-Nawawi menjadikan hadits yang berkaitan dengan ikhlasnya
niat menjadi hadits pembuka dalam kitab beliau, Arba’in an-Nawawiyah, hal
ini menunjukkan urgensi dari menjaga keikhlasan, begitu pula imam-imam yang
lainnya melakukan hal yang serupa. Hadits yang dijadikan pembuka tersebut
adalah hadits yang sudah tidak asing lagi, bahkan anak-anak TPA pun sudah
menghafalnya.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي
الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها
فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap
orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang
hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara
dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya)
mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lantas pertanyaan selanjutnya,
dalam hal apa saja ikhlas itu harus dilakukan?
Sebagian dari kita menilai bahwa ikhlas itu hanya ada dalam
perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Namun ketahuilah, bahwasanya ikhlas harus kita terapkan pula dalam muamalah
keseharian kita dengan manusia. Ketika kita bertemu dengan saudara kita, maka
kita tersenyum dengan ikhlas. Ketika saudara kita ingin nebeng berangkat
kajian, maka kita harus ikhlas. Ketika saudara kita ingin meminjam uang, maka
kita harus ikhlas. Ya, kita harus ikhlas semata-mata karena Allah, kita
berharap balasan dari Allah semata, bukan agar dia berbuat baik pula kepada
kita, atau agar dia memberikan tebengan pula kepada kita, dan bukan pula agar
dia meminjami kita uang. Namun kita melakukannya semata-mata karena Allah, dan hanya
berharap ganjaran dari Allah ﷻ.
Kaum
muslimin rahimakumullahu
Kita tentu pernah mendengar kisah, tentang tiga orang yang
pertama kali diadili pada hari kiamat. Seorang mujahid, seorang yang berilmu
dan pandai membaca al-Qur’an, dan seorang kaya yang suka memberikan bantuan dan
kepedulian. Ketiga-tiganya harus menerima kenyataan pahit bahwa amal mereka
ditolak di sisi Allah dan membuat mereka masuk ke dalam neraka.
Bukan karena amalan itu tidak sesuai Sunnah, bukan karena amalan
itu kecil atau tidak memberikan manfaat untuk umat, bukan karena amalan itu
remeh. Namun, karena amal-amal besar yang mereka lakukan telah tercabut dari
akar keikhlasan. Amal dan kebaikan mereka hangus gara-gara tidak ditegakkan di
atas niat yang ikhlas… Sungguh benar ucapan Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah, “Betapa banyak amal
yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal yang besar
justru menjadi kecil juga karena niatnya.”
Maka, kitaharus senantiasa menjaga keikhlasan niat yang kita
lakukan hanya karena Allah ta’ala semata. Dan ini bukanlah perkara yang mudah,
para ulama dahulu saja banyak yang menyatakan bahwasanya sulit untuk menjaga
niat agar ikhlas, diantaranya,
Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata:
“Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit
bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”
Maka lebih-lebih lagi bagi kita yang berada di zaman
ini, zaman yang penuh akan fitnah, zaman yang penuh akan kemaksiatan. Namun
kita harus tetap berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah ﷻ agar dimudahkan untuk senantiasa ikhlas dalam melakukan
ketaatan kepada AllahKedudukan
kita sebagai hamba Allah ﷻ mengaharuskan kita
untuk senantiasa bersyukur kepada Allah ﷻ,
bagaimana tidak, Allah ﷻ telah banyak sekali
memberikan kenikmatan-kenikmatan kepada kita semua, kaki yang kita gunakan
untuk berjalan, tangan yang kita gunakan untuk bergandengan, mata untuk
melihat, itu diantara kenimatan2 yang Allah ﷻ
berikan kepada kita dan masih banyak lagi kenikmatan2 lainnya, yang sejatinya
kita tidak akan sanggup untuk menghitung jumlahnya, karena Allah ﷻ telah berfirman :
“dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka
dari itu bentuk konsekuensi yang karena kita telah diberi kenikmatan yang
sangat luar biasa oleh Allah, ialah mengharuskan kita untuk senantiasa
bersyukur kepada Allah ﷻ. Dan salah bentuk
rasa syukur kita kepada Allah adalah dengan melakukan ketaatan2 kepada-Nya.
Kaum
muslimin rahimakumullahu
Dan
dalam pelaksanaan ketaatan, maka salah satu syarat yang harus kita penuhi
adalah menjalani ketaatan tersebut dengan sepenuhnya ikhlas, karena Allah ﷻ. Ikhlas adalah sebuah kata singkat yang
sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang sangat sarat
akan makna. Sebuah kata yang apabila terhilang dari dada-dada kita, maka akan
fatal akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Itulah ikhlas. Lalu, apa yang
dimaksud dengan ikhlas?
Ya,
ikhlas itu adalah ketika kita
menjadikan niat dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, kita
melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat
manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena kita ingin
mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga
bukan karena kita tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila kita melakukan suatu
amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka
ketauhilah, itu berarti kita telah ikhlas.
Oleh
karenanya, Imam An-Nawawi menjadikan hadits yang berkaitan dengan ikhlasnya
niat menjadi hadits pembuka dalam kitab beliau, Arba’in an-Nawawiyah, hal
ini menunjukkan urgensi dari menjaga keikhlasan, begitu pula imam-imam yang
lainnya melakukan hal yang serupa. Hadits yang dijadikan pembuka tersebut
adalah hadits yang sudah tidak asing lagi, bahkan anak-anak TPA pun sudah
menghafalnya.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي
الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها
فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap
orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang
hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara
dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya)
mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lantas pertanyaan selanjutnya,
dalam hal apa saja ikhlas itu harus dilakukan?
Sebagian dari kita menilai bahwa ikhlas itu hanya ada dalam
perkara ibadah semata, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Namun ketahuilah, bahwasanya ikhlas harus kita terapkan pula dalam muamalah
keseharian kita dengan manusia. Ketika kita bertemu dengan saudara kita, maka
kita tersenyum dengan ikhlas. Ketika saudara kita ingin nebeng berangkat
kajian, maka kita harus ikhlas. Ketika saudara kita ingin meminjam uang, maka
kita harus ikhlas. Ya, kita harus ikhlas semata-mata karena Allah, kita
berharap balasan dari Allah semata, bukan agar dia berbuat baik pula kepada
kita, atau agar dia memberikan tebengan pula kepada kita, dan bukan pula agar
dia meminjami kita uang. Namun kita melakukannya semata-mata karena Allah, dan hanya
berharap ganjaran dari Allah ﷻ.
Kaum
muslimin rahimakumullahu
Kita tentu pernah mendengar kisah, tentang tiga orang yang
pertama kali diadili pada hari kiamat. Seorang mujahid, seorang yang berilmu
dan pandai membaca al-Qur’an, dan seorang kaya yang suka memberikan bantuan dan
kepedulian. Ketiga-tiganya harus menerima kenyataan pahit bahwa amal mereka
ditolak di sisi Allah dan membuat mereka masuk ke dalam neraka.
Bukan karena amalan itu tidak sesuai Sunnah, bukan karena amalan
itu kecil atau tidak memberikan manfaat untuk umat, bukan karena amalan itu
remeh. Namun, karena amal-amal besar yang mereka lakukan telah tercabut dari
akar keikhlasan. Amal dan kebaikan mereka hangus gara-gara tidak ditegakkan di
atas niat yang ikhlas… Sungguh benar ucapan Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah, “Betapa banyak amal
yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal yang besar
justru menjadi kecil juga karena niatnya.”
Maka, kitaharus senantiasa menjaga keikhlasan niat yang kita
lakukan hanya karena Allah ta’ala semata. Dan ini bukanlah perkara yang mudah,
para ulama dahulu saja banyak yang menyatakan bahwasanya sulit untuk menjaga
niat agar ikhlas, diantaranya,
Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata:
“Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit
bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”
Maka lebih-lebih lagi bagi kita yang berada di zaman
ini, zaman yang penuh akan fitnah, zaman yang penuh akan kemaksiatan. Namun
kita harus tetap berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah ﷻ agar dimudahkan untuk senantiasa ikhlas dalam melakukan
ketaatan kepada Allah.Penulis.
Ma'ruf Ridho Syahrofi
Editor
Abu Umair, BA.
0 Response to "MENJAGA KEIKHLASAN"
Posting Komentar